Demokrasi Ludruk Di Desa

Jakarta/newsbentang.com - Di Surabaya Jawa Timur ada seni pertunjukan drama tradisional ludruk. Cerita yang diangkat adalah kisah perjuangan diselingi lawakan. Namun penonton ludruk bukan menikmati ceritanya tapi lebih menikmati banyolannya yang kocak dengan bahasa khas Suroboyoan.

Melihat praktik pemerintahan demokrasi di desa juga mirip nonton ludruk itu. Bagi orang yang paham esensi sistem pemerintahan demokrasi melihat praktik demokrasi pemerintahan desa betul-betul kocak menggelikan. Sistem itu sepenuhnya dibuat dalam sistem demokrasi modern dengan semua prosedur dan lembaga-lembaganya. Tapi dimainkan dengan model pertunjukan ludruk.

Skenario ditulis oleh DPR dan Pemerintah dalam bentuk UU dan peraturan pelaksanaannya. Sutradaranya adalah bupati yang diwakili oleh camat.

Tonil dibuka. Babak Pertama.

Adegan pertama Bupati dan BPD membentuk panitia Pilkades. Adegan kedua Panitia Pilkades membuka pendaftaran. Adegan ketiga panitia mengumumkan calon kades. Adegan keempat calon kades merayu/kampanye warga desa agar memilih dirinya dengan cara open house tiap malam. Adegan ke-5 calon kades membeli suara dengan harga  antara Rp200.000 sampai satu juta. Adegan ke 6 Menjelang pemungutan suara para calon kades membagi-bagi nasi bungkus untuk sarapan dan uang coblosan kepada calon pemilih. Adegan ke- 7 Panitia menyelenggarakan pemungutan suara di tempat terbuka. Adegan ke-8 panitia menggumumkan pemenangnya. Tonil ditutup

Tonil dibuka. Babak II.

Adegan pertama Bupati melantik kepala desa. Adegan kedua kepala desa masuk kantor. Adegan ke-4 Kades membentuk kabinet baru dengan cara memberhentikan perangkat desa lama dan mengangkat perangkat desa baru dari tim suksesnya. Adegan ke-5 kepala desa memposisikan diri sebagai despot desa. Dengan bolpoin dan stempel di tangan dan di bawa ke mana-mana dia menjadi penguasa tunggal yg absolut. Lewat kolusi dengan  pemegang otoritas tingkat kabupaten Dana Desa dicengkeram kuat. Semua aset desa yg bernilai ekonomi di bawah kontrolnya. Begitu juga proyek dari pemerintah atasan.

Rakyat desa yang memerlukan surat pengantar dipalak dengan uang fee atau uang "administrasi". Yang menjual tanahnya dipalak 1-2,5% dari harga jual. Yang mengajukan sertifikat tanah dipalak uang saksi ratusan ribu sampai jutaan rupiah. Kepala desa membagikan proyek beras miskin, BLT, kartu sehat, kartu pintar, dll kepada keluarga dan kroninya. Rakyat tidak berani mengontrol karena ditekan dan diintimidasi. BPD hanya papan nama. Tidak punya kantor tidak punya sekretariat tidak punya kegiatan. Kerjanya hanya tukang stempel peraturan desa yang sudah disiapkan oleh Kepala Desa. Pers  tidak bekerja di desa. Masyarakat sipil yang terorganisir juga tidak ada di desa. Kelompok penekan dan kelompok kepentingan juga tdk ada.

Kepala desa menyelenggarakan pemerintahan desa sesuai dengan skenarionya dan maunya sutradara. Ritual praktik pemerintahan desa yg demokratis diselenggarakan dengan penuh kepalsuan. Ada musyawarah desa. Ada musrenbang. Ada rapat BPD. Ada laporan pertanggungjawaban. Ada  keterangan  pertanggungjawaban. Tapi semuanya abal-abal. Persis pentas ludruk. Tonil ditutup.

Reaksi pertunjukan ludruk Desa adalah begini.

Penulis skenario (DPR dan Pemerintah) dan sutradara senang sekali karena permainan ludruk nya berjalan dengan baik.

Para ilmuwan desainer sekenario (penulis naskah akademik RUU Desa) merasa bangga karena dapat membuat Script demokrasi prosedural yang dimainkan dalam model ludrukan.

Para ilmuwan yang nalarnya logis (tdk dungu pikir) tersenyum kecut dan muak melihat praktek demokrasi ludruk di desa yang hanya menghasilkan despot desa yang menindas rakyat desa.

Para pemain ludruk ( panitia Pilkades, rakyat desa, kepala desa, anggota BPD, perangkat desa, para ketua RT, para ketua RW, pendamping desa, camat, kepala dinas Pemberdayaan Masyarakat desa, dan Bupati) sangat menikmati dan terhibur karena  ludruk demokrasi Desa sudah menjadi ritual seperti orang Bali menjalankan upacara adatnya. Mereka bersorak sorai menikmati adegan demi adegan ludruk ini.

Para penonton lepas sebagian besar muji-muji ludrukan demokrasi desa karena menilai rakyat desa sudah pandai melaksanakan demokrasi asli.  Padahal mereka buta literasi karena pemilihan kepala desa langsung adalah buatan Raffles tahun 1814 sbg instrumen represif utk menarik pajak.  Hanya sebagian kecil dari mereka ada yang mempertanyakan, "Apa sih manfaat demokrasi ludruk Desa itu yang menghabiskan miliaran rupiah bagi rakyat desa?. Sudah 205 thn dipraktikkan toh hanya menghasilkan masyarkat desa yg tuna susila dan tuna adab berpemerintahan dan melanggengkan kemiskinan".

Oleh Prof Hanif Nurcholis

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengungkap Misteri Kerajaan Gaib Sungai Walanae Di Kabupaten Bone

Redaksi Bentang Khatulistiwa News

Warga BTN Bumi Cilellang Mas Kelurahan Toro Kabupaten Bone Dambakan Perbaikan Akses Jalan